Tinta Hitam

Minggu, 12 Mei 2013

surgawi dipadang gersang


SURGAWI DI PADANG GERSANG
By: elok viola Al Insan*
Kini aku tertegun mesra menatap langit. Menikmati indahnya pesona ciptaan Tuhan dimalam minggu kelabu. Sudah seminggu ini libur sekolah berlalu,. Rasanya tak pernah jemu aku duduk di bawah pohon jambu di depan rumahku. Semusim ini, udara malam selalu bersahabat dengan suasana hatiku; Dingin.
Kemarau panjang tak bisa lepas dari desaku. Sawah-sawah selalu kering kerontang, hutan yang semasa kecilku adalah tempat mengembala kambing-kambing nenekku, sekarang tergusur menjadi tanah garapan para penduduk. Akibatnya bila musim hujan tiba sering terjadi banjir dan longsor. Beruntung rumah ayahku didirikan di atas tanah yang berbukit, jadi tak akan ada banjir yang bisa sampai di sini, tapi bukan pengecualian untuk tak terjangkit longsor.
Malam terasa sangat sunyi. Angin pelan berhembus menerobos sela-sela dedaunan kering. Menambah semakin berserakannya mereka dikemarau ini. “Ah… besok ku sapu saja halaman rumah ini, terlalu kotor untuk dilalui orang”. pikirku. Lama aku termenung lagi, memikirkan betapa sudah rusaknya desaku. Tak seperti dulu, semua telah dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia. Ketamakan mendera tanpa disadari.
Dua tahun setengah aku berlalu tanpa orang tua. Aku dititipkan kepada bibiku semenjak lulus SMP. Setiap liburan seperti ini aku menghabiskan waktu sepenuhnya didesa. Aku selalu membandingkan kehidupan kota dengan di desaku. Di tempat bibi tidak pernah kekurangan air, padahal disini didesa seharusnya ada banyak air ditemukan disini, tapi mengapa justru malah sebaliknya ?. Atas pertanyaan ini aku berpikir lagi. Menerawang setiap sudut desaku. Tak ada lagi hutan yang dulu merupakantempat bermainku sewaktu masih SD. Yang ada hanya bekas hutan yang kini gersang termakan ganasnya manusia. Ironis sekali aku melihat itu. Ingin sekali rasanya aku menjadi seorang kepala desa dan mengadakan pembaharuan yang bisa memajukan desaku ini; Dreaming.
Bapakku tengah sibuk menonton siaran berita televisi. Beliau sangaat antusias melihat pergolakan politik yang terjadi di Indonesia. Negeri yang katanya subur dan makmur, yang lautannya bagai kolam susu, ternyata hanya buaian kata untuk menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya. Bapak adalah sosok yang sangat membanggakan, Beliau salah seorang pengurus kantor desa. Meski hanya tingkat desa, itu sudah sangat membanggakan bagiku, mengingat dia hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama.
Tak kuat terus beradu dengan dingin, aku memasuki istana yang sudah disiapkan Bapak untuk kami; keluarga tercintanya. Melihat bapakku yang tengah asyik denganTv-nya, kudekati tubuh tegarnya, “Acaranya apa sich, Pak ?”, aku bertanya agak basa basi.
“Ini lho nduk, bapak lihat berita. Banyak kekeringan yang terjadi di musim kemarau kali ini. Dimana-mana nggak cuma di desa kita tok
“Hmmm… hutannya saja sudah banyak yang gundul, Pak, ya pantas saja kalau kekeringan”, timpalku memberi alasan.
“Iya, nduk. Kamu kan tahu sendiri masyarakat disini hidupnya bergantung pada hasil pertanian”
“Tapi, apa harus menebang pohon-pohon itu dan menjadikannya tanah garapan ? enggak kan Pak..??” aku bertanya dengan agak sedikit memaksa bapak untuk setuju dengan pendapatku.
“Tentu tidak harus, nduk, tapi lihat saja anak muda yang seumuran dengan kamu, semua sudah dinikahkan orang tuanya. Akibatnya setelah mereka menikah tak ada pilihan lain selain bertani karena mereka tidak memilki keahlian apa-apa. Lalu dimana mereka harus bertani ? Ya di hutan itu, nduk, mereka memanfaatkannya untuk bertani, mereka tidak bisa berpikir panjang dari dampak yang akan timbul dari perbuatan mereka. Bapak tidak bisa menyalahkan mereka, nduk.”
Aku mendengarkan penjelasan bapakku dengan hikmat, kucerna setiap kata yang keluar dari hatinya, “Pak…kalau boleh berharap aku ingin sekali mengubah cara pandang masyarakat desa kita”
“Itu tindakan yang baik nduk, Bapak akan mendukung semua keputusanmu selama itu baik untuk kamu dan orang lain.”
Percakapan kami terbatas sampai disitu. Aku masih ngambang dengan pemikiran dan kenyataan yang ada. Bila dibandingkan lagi dengan kehidupan di rumah bibiku, desaku sangat jauh tertinggal. Bayangkan saja, hanya segelintir orang yang memilki kamar mandi pribadi, selebihnya masih harus mengantri di sumur dan menimba air dengan payahnya. Tak hanya itu, bahkan tak ada WC di rumah penduduk. Yang ada hanya sungai untuk umum, mereka biasa buang air disana. Dulu semua itu kuanggap hal yang biasa,tapi sekarang setelah keluar dari lingkup desa ini, aku mengerti betapa miskin desaku. Masih kuingat saat aku harus berkucur peluh saat SD dan SMP, aku harus berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang tidak dekat; bisa dipastikan aku berjalan 7 km dalam sehari. Dan kini 2 tahun berlalu, tak ada kemajuan, adik-adik kelas ku masih harus berjalan melewati hutan jati yang pohonnya tinggal beberapa, berjejer di antara ilalang yang tumbuh liar.
Besok aku sudah harus kembali pergi menjauh dari hamparan surgawi yang membesarkanku dan menghadapi bisingnya suasana sekolah. Liburan berikutnya akan kutemui suasana yang berbeda lagi. Banjir dan longsor akan menghiasi setiap sudut desa. Mimpiku masih di awing-awang. Kelak ketika aku sudah benar-benar mengerti aku akan mewujudkannya.
Nduk, hati-hati di jalan, nanti kalau sudah sampai kamu kabari ibu, jangan lupa sama ibadahnya juga dijaga”. Wanita itu mengucapkan setiap kata dengan penuh kasih sayang, ia melambai kepadaku. Wanita itu adalah ibuku.
“Bangun nduk, ayo sholat subuh”. Ada suara lagi, tapi yang ini sangat jelas. Ku buka mataku. ternyata suara pertama tadi hanya mimpi. Dengan menggeliat penuh rasa kantuk aku mengiyakan perintah mulianya.
Hem, ya bu.”
Waktu menunjukkan pukul 04:45. Bapak, ibu dan aku melaksanakan sholat berjama’ah. Satu hal ini yang membuatku rindu akan suasana rumah. Rasa tentram bersama keluarga tak bisa tergantikan dengan apapun. Dinginnya pagi ini menjadi hangat dengan seulas senyum yang mengembang di sudut bibir mereka.
“Kamu nanti bernagkat jam berapa ?”, dengan nada agak berat ibu bertanya padaku.
“Nanti sekitar jam 8 aku berangkat bu”
“Sekarang bersiap-siaplah. Jangan lupa sarapan dulu sebelum berangkat”
“Iya bu,,, nanti bapak bisa mengantarku ke terminal’kan ?
“Bisa Ani, lekaslah bersiap-siap !”
Ibuku meniti langkah menuju dapur. Menunaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Aku sendiri bersiap-siap untuk menuju keberangkatanku nanti.
Nduk, hati-hati dijalan, nanti kalau sudah sampai kamu kabari ibu, jangan lupa sama ibadahnya juga dijaga !”
Kata-kata itu seperti pernah ku dengar, tapi bukankah setiap aku pulang dan aku akan kembali lagi ibu selalu berkata demikian ?. Aku tak tahu. Tak perlu banyak berpikir, aku segera menanggapi saran ibu.
“Iya, bu… aku berangkat ya, assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, hati-hati nduk
“Iya Bu,”
Ku lihat raut wajah ibu, seakan berat melepasku. Airmatanya menetes mengiringi langkahku yang semakin menjauh. Ia tersenyum dalam sedih. Wajahnya yang keriput menyisakan kecantikan masa lalu. Meski tak  sekencang dulu, namun bekas itu masih ada. Pesona senyum menawannya tak akan luntur termakan usia yang menggerogotinya, hangatnya melebihi sang surya, tak akan keriput ditelan senja. Aku sangat suka wajah itu dan siapapun pasti suka akan wajah ibunya. Sama seperti aku saat ini.
Kini aku duduk dalam bus. Pikiranku menerawang lagi. Tak henti-hentinya aq memikirkan nasib desaku di tahun-tahun berikutnya. Masih seperti ini, semakin maju atau sebaliknyakah ?, pikiran-pikiran itu mengusikku.
Aku ingat kata-kata perpisahan ibu tadi. Kata-kata itu ku dengar dalam mimpiku tadi pagi. Masih berpikir tentang mimpiku. Satu lagi, aku lupa melaksanakan janjiku tadi malam, menyapu halaman surgaku. Tapi saat aku tengah asyik berkelana dengan pikiranku, tiba-tiba, brakkkhhh…. Astagfirullah. Bus yang ku tumpangi menabrak pembatas jalan.